Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Adat



MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN ADAT


Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Adat
Program Ahwal Syakhsiyyah


Siti Aminah    : 152142043
                                               

                                               

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH (AS)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM (FSEI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
 2016




KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat & ridho-Nya, kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ma’ruf Mahsun  selaku dosen pengampu “Hukum Adat” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
            Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Hukum Perkawinan Adat”. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.



Penulis

16 November 2016


DAFTAR ISI
Halaman Judul...........................................................................................................
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.     Tujuan Masalah............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
A.    Pengertian Hukum Perkawinan Adat.......................................................... 2
B.     Sistem Perkawian......................................................................................... 7
C.     Pengaruh Agama  Dalam Perkawinan Adat.............................................. 10
BAB III PENUTUP............................................................................................. 15
Kesimpulan............................................................................................................ 15
Daftar Pustaka....................................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu kebutuhan biologis yang harus dipenuhi oleh manusia. Namun dalam proses pelaksanaannya hukum melakukan interpretasi dalam hal tersebut. Dan hukum yang dianut guna melaksanakan prosesi pernikahan tersebut adalah hukum nenek moyang leluhur mereka yang telah berakar dalam lingkungan masyarakat setempat. Namun, adat istiadat di suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda. Sehingga apabila suatu adat diterapkan dalam lingkup masyarakat yang berbeda, maka bisa jadi adat tersebut bertentangan dengan adat yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kebiasaan maupun hukum kebiasaan disamakan dengan hukum adat, sehingga hukum kebiasaan di suatu daerah berbeda dengan kebiasaan maupun hukum kebiasaan yang lainnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Hukum Perkawinan Adat
2.      Sistem Perkawian
3.      Pengaruh agama  dalam perkawinan adat
4.      Acara dan Upacara Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
C.     Tujuan
1.      Dapat mengetahui Pengertian Hukum Perkawinan Adat
2.      Dapat mengetahui Sistem perkawian
3.      Dapat mengetahui Pengaruh agama  dalam perkawinan adat
4.      Dapat mengetahui Acara dan Upacara Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Hukum Perkawinan Adat
Sebelum membahas lebih jauh tentang perkawinan adat, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian hukum adat. Hukum adat menurut Suriyaman Mustari Pide adalah merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa  kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. [1] Artinya bahwa hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat yang lambat laun di anut sebagai hukum. Misalnya sistem perkawinan yang terjadi berdasarkan adat istiadat setempat.
Menurut hukum adat Indonesia, perkawinan bukan saja sebagai perikatan perdata melainkan juga perikatan adat sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, atau dengan sahuta (batak).[2]
Menurut Prof.Dr. Barend Ter Haar, B.Zn. disebutkan
Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut
Sedangkan menurut Djaren Saragih,S.H dinyatakan sebagai berikut :
Hukum Perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan”
Prof. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutkan pula bahwa :
Hukum Adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatutentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia”.
Hukum perkawinan adat juga di maknai sebagai aturan tentang prosedur perkawinan berdasarkan adat yang telah turun temurun, bentuk-bentuk perkawinan, prosesi peminangan, sampai pada prosesi putusnya hubungan perkawinan. Hukum mengenai perkawinan adat di Indonesia turut andil factor agama dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hukum perkawinan adat daerah satu dengan daerah lainnya akan berbeda dalam wilayah Indonesia. Pasalnya tergantung pada suku,ras, dan agama mereka, sehingga akan muncul berbagai bentuk perkawinan adat, diantaranya :
1.                  Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal
Bentuk perkawinan ini disebut juga sebagai bentuk perkawinan jujur. Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian/pembayaran perkawinan (jujur,belis) oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.[3] Adapun maksud pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan tersebut adalah diputuskannya hubungan antara calon mempelai perempuan dengan orang tuanya, sanak-saudara, dan  masyarakat sekitarnya.
Tujuan dari bentuk perkawinan patrilineal ini adalah untuk memindahkan kekerabatan calon istri dari keluarganya yang semula menujukekekerabatan dalam lingkaran keluarga calon suami. Tak hanya itu, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut nantinya juga akan mengikuti kekerabatan ayahnya, serta menjadi masyarakat hukum dari garis keturunan ayahnya.
Dengan demikian, bahwa pemberian jujur dapat berfungsi :
a.       Secara yuridis, pemberian jujur adalah untuk mengubah status keanggotaan calon pengantin wanita.
b.      Secara ekonomi, membawa pergeseran dalam harta kekayaan, dan
c.       Secara social, penyerahan jujur mempunyai arti pihak siwanita mempunyai kedudukan yang dihormati
Di Indonesia, berikut daerah-daerah yang menganut sistem hukum perkawinan patrilineal diantaranya Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan Maluku. Pada masyarakat Tapanuli (Batak) pembayaran jujur disebut istilah boli, tuho, parunjuk, pangali sinamot; di Nias: beuli aiha; Gayo: unjuk; Lampung:seroh; Timor:belis; Maluku: beli atau wilin; dan Bali : patunkuh – luh.
2.         Bentuk Perkawinan Masyarakat Hukum Matrilineal
Pada dasarnya, bentuk perkawinan matrilineal adalah mempertahankan garis kekerabatan dari pihak ibu. Perkawinan Matrilineal disebut juga perkawinan Semendo. Semendo berarti laki-laki, dari luar.
Berbeda halnya dengan perkawinan patrilineal, bentuk perkawinan semendo ini tidak memberikan jujur dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Sejak perkawinan dilangsungkan, baik istri maupun suami tetap berada dalam kekerabatannya masing-masing. Hanya saja ketika anak lahir, maka garis kekerabatannya mengikuti keturunan ibu, dan ayah tidak memiliki kewenangan terhadap anak-anaknya.
Setelah perkawinan kedudukan suami berada dibawah kekuasaan kerabat istri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku, apakah perkawinan semanda dalam bentuk “semanda raja-raja”, semanda lepas”, semanda bebas”, semanda nunggu”,”Semanda ngangkit”, semanda anak dagang”.
Jika yang terjadi bentuk perkawinan “Semanda raja-raja”, maka kedudukan suami  dan istri adalah sama (seimbang). Jika “semanda lepas”, berarti suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal), jika semanda bebas”, berarti suami tetap pada kerabat orangtuanya,  jika “semanda nunggu”, maka suami istri berkediaman dipihak kerabat istri selama menunggu adik istri (ipar) sampai dapat mandiri, jika “semanda ngangkit”, maka suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita, jika “semanda anak dagang”, maka suami tidak menetap ditempat istri melainkan dating sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang dianggap sementara, semanda ini disebut juga “semanda burung”.
3.    Bentuk perkawinan Masyarakat hukum Bilateral
Berlainan dengan kedua bentuk perkawinan diatas, bentuk perkawinan ini adalah bebas/mandiri. Setelah perkawinan suami dan istri memisahkan diri dari kekuasaan tua dan kerabat masing-masing untuk membangun keluarga/rumah tangga sendiri. Bentuk perkawinan ini terdapat di Jawa, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi. Akibat hukum dari bentuk perkawinan ini adalah suami dan istri masing-masing mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak.
Dikalangan masyarakat adat Jawa ada kemungkinan masih terjadi kehidupan keluarga/rumah tangga yang disebut “ngomahi” dimana istri mengikuti kediaman suami karena suami lebih mampu, atau sebaliknya “tutburi” dimana suami mengikuti kediaman istri karna istri lebih mampu, atau dalam istilah di Banten “Banten anut ing sapi” (sapi jantan mengikuti sapi betina), dikarenakan istri mewarisi bangunan rumah dari orangtua . atau juga berlaku secara diam-diam bentuk perkawinan “manggih kaya” seperti di Jawa, dimana suami yang kaya mengawini istri yang miskin, menjadi selir gelap. Atau juga masih berlaku “nyalindung ka gelung”, dimana suami berlindung digelung istri, karena suami menjadi karyawan istri yang kaya.
4.    Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang terjadi diantara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan /atau berbeda agama yang dianut. Di Batak, apabila diselenggarakan perkawinan campuran antarsuku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “marsileban”, yaitu pria atau wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat Batak dalam lingkup “dalihan na tolu” jika calon suami adalah orang dari luar, maka ia harus diangkat masuk ke dalam warga adat “namboru”. Sehingga perkawinan adat itu tetap didalam jalur “assymmetrish connobium”.
Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar perkawinan yang mereka langsungkan sah, maka salah satu dari mereka harus mengalah, memasuki agama suami atau istri. Menurut agama Islam, perkawinan campuran antar-agama dimana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin dengan wanita beragama lain. Jika sebaliknya, suami beragama lain dari Islam sedangkan istri beragama Islam dilarang.
5.    Perkawinan Lari
Pada dasarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari ini dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebar bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.
Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara “perkawinan lari bersama” dan “perkawinan lari paksaan”.  Perkawinan lari paksaan”. Perkawinan lari bersama (Belanda :vlucht, Bengkulu :selarian, Lampung : Sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei; Bali :ngerorod, merangkat ; Bugis : silariang, dan Ambon :lari bini. [4]adalah perbuatan berlari untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si  gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam diambil atau si gadis dating sendiri ketempat kediaman si bujang .
Didaerah Lampung beradat pesisir, setelah gadis diketahui pergi berlarian, pihak kerabat mengusut jejak (nyusuk tapak, nyusut luyut) kemana gadis itu pergi, kedatangan pencari jejak dari pihak gadis itu harus diberi kesempatan untuk bertanya kepada anak gadis mereka, apakah atas kemauan sendiri atau dipaksa.
Ditanah Bugis, pihak kerabat yang mengetahui gadis mereka pergi berlarian atau mengejar (tomasir), jika belum sampai ditangan kepala adat sipemuda yang melarikan dapat dibunuh, karena memegang teguh nilai diri(malu) dalam hukum adatnya.                                                                                          
Sistem perkawinan lari paksaan ini jika terjadi seringkali diteruskan oleh kerabat yang merasa kehormatannya terganggukepada pihak kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 332 KUHP (sebagai dasar pengaduan)
Pasal 332 KUHP, berbunyi :
(1)          Di ancam dengan pidana penjara
Ke 1       paling lama  tahun barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu baik didalam maupun luar perkawinan.
Ke2                    paling lama 9 tahun barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu baik di dalam maupun di luar pernikahan.
(2)   Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan
(3)   Pengaduan dilakukan.
(a)    Jika wanita ketika dibawa pergi belum cukup umur, oleh dia sendiri atau orang lain yang member izin bila dia nikah.
(b)   Jika wanita ketika dibawa pergi sudah cukup umur, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4)Jika yang membawa pergi lalu nikah dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap pernikahannya berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetbook, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum pernikahannya dinyatakan batal.
B.            Sistem perkawian
Sistem perkawinan,dilihat dari asal suami atau istri dibedakan atas tiga (3) macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Sistem endogomi, yaitu perkawiaan yang diperbolehkan hanya dari suku sendiri seagama, desa dan lapisan masyarakat. Sisitem perkawian yang terdapat di Toraja, Folres Nusan Tenggara Timur. Pada waktu yang lampau, pada masyarakat Ngadhu-bahaga , Folres Nusan Tenggara Timur  berlaku ketentuan endogomi, yaitu ketentuan bahwa gadis dari kalangan bangsawan (gae meze) dilarang kawin dengan yang bukan dari kalangan bangsawan. Tetapi laki-laki gae meze boleh menikahi dengan gae kisa, anak-anak yang lahir tidak masuk dalam kedudukan sosial Ayahnya melainkan mengikuti setatus sosial Ibunya. Pelanggaran terhadap ketentuan.
2.      Sistem eksogami, perkawinan denga orang diluar suku keluarganya atau diluar marganya  (eksogami desa klan/marga), sistem perkawinan eksogami terdapat pada masyarakat Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan, Buru, dan Seram. Pada masyarakat Batak terdapat ketentuan larang kawin yang semarga. Karena mereka adalah satu saudaradari leluhur bapak. Pelanggaran terhadap ketentuan eksogami adalah adalah merupakan perbuatan sumbang (incest). Terdapat juga kebiasaan yang  sangat menganjurkan kawin dengan “periban”, yaitu anak sudara laki-laki dari ibunya, yang dinamakan “tulang”. Masyarakat Lio di Flores tengah terdapat keutamaan kawin dengan anak laki-laki saudara dari ayah yang dinamakan eja.
3.      Sistem perkawinan eleutrogami, sistem ini tidak mengenal larangan atau keharusan-keharusan seperti dalam sistem endogami atau eksogami. Keharusan-keharusn seperti dalam sistem endogami atau eksogami. Larangan-larangan itu adalah larangan yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan, misalnya; larangan karena nasab (turunan dekat) dan musyaharah (pepiparan), kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dan kebawah, juga dengan saudara kandung, saudarabapak atau ibu. Contoh musyaharah: kawin dengan ibu tiri menatu, mertua, atau anak tiri. Sistem eleutrogami terdapat di Aceh, Sumatra Timur, Bangka, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Dan Lombok).
Menurut hukum adat pada umumnya, perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perkawianan  denga meminang dan perkawinan dengan tidak meminang.
1.         Perkawinan meminang
Perkawinan meminang biasanya dimulai dari pertemuan dan perkenalan muda-mudi. Pertemuan perkenalan  pertemuan perkenalan itu dapat mengikat kekasih cinta dangan memberi tanda mau (lampung, tanda tangan) dari si pemuda kepada si pemudi. Pemberian semacam itu di batak dinamakan mangelean tanda, karo: tagih-tagih, dan simalunggun:  mambere gelombang.
Dengan adanya pergaulan yang lebih akrab, dilanjutkan dari pelamaran dari orang tua si pemuda kepada rang tua si pemudi. Apabila lamaran diterima, dapat dilanjutkan dengan berbertunangan (Jawa: pancangan, Bali: bincing, Dayak Ngaju: mamupuh) pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara  orang tua pihak pria dan orangtua pihak perempuan untuk mengikat tali perkawinan anak-anak mereka denga jalan meminang.
Peminangan baru mengikat sejak diterimannya tanda pertunangan atau tanda pengikat, yang dapat berbentuk uang, barang, perhiasan, dan lain-lain. Tanda pengikat itu berfungsi sebagai panjer atau paningset (Jawa),  payangsang (Sunda), tanda kongnarit (Aceh), cengcengen (Banyuwangi). Tanda pengikat itu menjadi kerabat si pemudi, tetapi kadang-kadang setelah perkawianan tanda pengikat itu di kembaliakan (di kerinci).
Disamping berfungsi sebagai tanda pengikat,   tanda pertunangan  kadang-kadang dipakai untuk tanda larangan, misalnya di Toraja dengan adanya pujumpo, yaitu sebagai alat pencegah agar orang lain  jangan mengawini pemudi tersebut, di Bali disebut base pangalarang.
Latar belakang pertunangan tidak sama di setiap daerah, lazimnya sebagai berikut:
a.    Keinginan atas kepastian/ jaminan perkawinan yang di kehendakiakan dilaksanakannyadalam waktu yang jauh lagi (waktu dekat).
b.      Khususnya di daerah-daerah yang pergaulanya sangat bebas,sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan.
c.       Memberikan kepada dua belah pihak untuk lebih saling mengenal, sehingga menjadi pasangan yang harmonis
Adanya pertunangan memberi akibat hukum, secara langsung bahwa kedua belah pihak terkait untuk melakukan perkawinan, tidak dengan paksaan, dan timbul sikap pergaulan ataupun hubungan khusus antara calon mertua dan calon menantu dan antar besan, sebaliknya, setelah adanya pertunangan hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
Namun, demikian meskipun sudah bertunangan masih dimungkinkan dilakukan pembatalan sebagai berikut.
a.             Kalau pembatalan itu dikehendaki kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.
b.             Kalau salah satu pihak tidak menepati janji atau ingkar janji; kalau yang meneriman tanda itu ingkar janji maka tanda itu yang harus dikembalikan sejumlah atau berlipat yang diterimanya. Kalau pihak laki-laki yang memutuskan, maka tanda tersebut tidak perlu dikembalikan. Jikalau pembatalan itu merupakan kehendak kedua belah pihak tanda pertunangan lazim saling mengambalikan.
Cara pelamar diberbagai daerah tidak sama, namun pelamar dilakukan biasanya dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki. Bisanya cara melamarnya dilakukan terlebih dahulu pihak yang melamar mengirim utusan atau perantara, di daerah Aceh:seulangke, Melayu: telangaki, Batak: domu-domu, Lampung:lalang, Jawa: congkok, untuk melakuakan penjajakan. Setelah penjajakan,barulah dilakuakan pelamaran  secara resmi oleh keluarga pihak laki-laki dengan membawa tanda larangan atau tanda pengikat.
Kemudian, melalui juru bicara masing-masing kedua belah pihak mencapai kesepakatan tentang hal-hal, sebagai berikut:
a.             Besarnya uang jujur atau mas kawin
b.             Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-lain) dari pihak wanita
c.             Bentuk perkawinan dan kedudukan suami-istri setelah perkawinan
d.            Perjanjian-perjanjian perkawinan
e.             Acara dan upacara perkawinan
f.              Waktu dan tempat upacara, dan lain-lainnya.
2.    Perkawinan  tidak meminang
Setelah peminangan atau pelamaran, terdapat cara-cara perkawinan lain , yaitu perkawinan lari. Kawin lari sudah merupakan cara yang umum yang dilingkungan masyarakat hukum adat patrilineal dan material.perkawinan ini dilakukan untuk menghindari berbagai kewajibanyang menyertai perkainan dengan lamaran dan pertunanagan, seperti member paningset (hadiah)atau terutama menghir diri dari rintangan yang datang dari pihak orang tua dan  sanak saudarapihak perempuan.
Kawin lari dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu kawin lari bersama dan bawa lari. Kawin lari bersama (vluchthuwelijik) adalah tindakan kawin lari untuk melaksanakan perkawinan yang di setujui si gadis, di Batak: mangalau, Sumatra Selatan: belarian, Lampung: sebambungan/ metudau/nakat/cakatlakel, Bali: ngerorod/mangkat, Bugis: silariang, Ambon: lari bini. Di lampunga kawinlari bersama diasanya dilakukan setidak-tidaknya perempuan meninggalkan rumahnya dengan “tanda kepergiannya” berupa surat atau sejumlah uang.

C.            Pengaruh Agama  Dalam Perkawinan Adat
Adapun pengaruh agama dalam pelaksanaan perkawinan adat adalah : bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam ialah dengan mengucapkan ijab-qabul, dengan disaksikan oleh 2 orang saksi di dalam suatu mesjid, sedangkan bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Kristen/Katolik dimana mempelai pria dan mempelai wanita mengucapkan perjanjian perkawinan dihadapan pendeta (Pastur) yang memberkati mereka di Gereja dan bagi meereka yang perjanjian perkawinannya . bagi mereka yang beragama Budha mempelai laki-laki dan mempelai wanita mengucapkan perjanjian perkawinan di Vihara didepan Altar  Suci Sang Budha (Bhodisatwa) dan diberkati pendeta (bhikku atau Bikkuni  atau Sumanera atau Sumaneri). Sedangkan bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Hindu ialah dimana mempelai pria dan mempelai wanita melakukan upacara Beakhala atau Beakhaon di Natar atau dimuka Sanggar dengan upacara pemberkatan (Mejaya-jaya ) oleh Brahmana (Sulinggih).
Perkawinan anak-anak ini baru dilaksanakan apabila anak telah mencapai umur yang pantas yaitu 1 atau 16 tahun bagi perempuan dan 1 atau 19 tahun bagi laki-laki. Apabila terjadi perkawinan dimana anak perempuan kurang dari 1 tahun dan pria kurang dari 1 tahun maka setelah menikah, hidup bersama antara mereka keduanya ditangguhkan sampai mencapai usia yang telah ditentukan. Perkawinan semacam ini dinamakan kawin gantung atau gantung nikah-Jawa. Biasanya apabila kedua pasangan dimaksud kemudian mencapai umur yang pantas maka perkawinannya disusul dengan perkawinan adat . di Jawa Barat mengenai hal ini dapat dibedakan antara Kawin Gantung dengan perkawinan anak perempuan yang belum dewasa (belum akil balig) dengan seorang laki-laki yang sudah dewasa.
Prof. Hilman Hadikusuma menegaskan bahwa latar belakang perkawinan anak-anak antara lain bersifat dorongan atau paksaan, adalah dikarenakan :
a.       Adanya pesan (Tanggeh-Lampung (Weling-Jawa) dari orang tua yang meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara kedua orang tua kedua belah pihak pernah mengadakan perjanjan untuk se-besan-an (Sesebayan-Lampung) agar tali persaudaraan menjadi kuat.
b.      Kedudukan seseorang sebagai kepala kekerabatan yang akan mempengaruhi kegoncangan dalam kekerabatan dan pewarisan atau karena kedudukan terhadap harta kekayaan. Misalnya dapat terjadi dalam bentuk perkawinan Negiken-Lampung atau Perkawinan Tabir ANak atau Semanda Ngangkit.
c.       Terjadinya sengketa antar kerabat untuk dapat memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat yang bersangkutan.
d.      Untuk maksud mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat disetujui orang tua (kerabat) bersangkutan. Misalnya anak tertua laki-laki di Lampung tidak di perkenankan kawin dengan wanita bukan orang Lampung.
Kawin bermadu
Dikalangan masyarkat Islam perkawinan dengan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ketentuan Al-Qur’an (surat An-Nisa ayat 3) yang menyatakan
Maka bagi orang Islam dibenarkan untuk mengawini lebih dari satu istri dengan ketentuan bahwa  sang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri. Tetapi berlaku adil bukanlah perkara mudah, oleh Karena itu Islam menganjurkan agar sang suami hanyalah menikahi seorang istri saja.
Pada dasarnya hukum adat tidak mengatur bagaimana seharusnya seorang suami berlaku adil terhadap istri-istri oleh karena kedudukan istri-istri berbeda, ada yang disebut Isteri Ratu (Garwa Padmi-Jawa) dan ada Isteri Selir (Do-Amonga-Pulau Sawu). Begitu pula ada istri yang berkedudukan sebagai Isteri Pembantu. Di daerah Lampung dikenal pula perbedaan antara Isteri Tua ( Beituhau) dan Isteri Muda (Bei sanak), ada pula istri yang kedudukannya sejajar (Papak) dan adapula Isteri Gadis (Beri Mulei) dan Istri Anggau (Bei Semalang). Perbedaan-perbedaan itu akan membawa akibat hukum dalam kedudukan anak-anak dan perkawinan.[5]
D.           Acara dan Upacara Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Mengenai acara dan upacara perkawinan dalam huku adat, masyarakat cenderung tidak hanya cukup dilaksanakan menurut ketentuan agama mereka masing-masing, melainkan pula dilengkapi pula dengan pelaksanaan upacara-upacara adat, baik dalam bentuk sederhana maupun pesta besar. Mengenai pelaksanaan upacara-upacara adat ini dapat berlaku sejak dilakukannya lamaran, ketika perkawinan dilaksanakan, dan beberapa waktu sesudahnya. Berikut contoh pekawinan adat dalam tradisi di Nusa Tenggara khususnya adat perkawinan Sasak.
Dalam adat Sasak, perkawinan sering disebut Merari’. Secara etimologi kata merari’diambil sari kata “lari”. Merari’an berarti melai’an, mlarikan. Kawin lari, adalah sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di Lombok.
Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku  Sasak. Melarikan adalah tindakan pertama dari si pemuda dengan atau tanpa persetujuan si gadis yang di inginkannya dari kekuasaan orang tua atau anggota keluarganya yang menjadi wali si gadis dari lingkungan keluarganya. Selanjutnya bila si gadis setuju dengan memenuhi ketentuan adat akan menjadikannya istri. Melarikan adlah proses awal dari prosesi perkawinan.
Setelah seorang gadis dibawa lari dan tinggal di bale penyeboqan, berbagai tindakan dilakukan oleh masyarakat untuk melanjutkan proses perkawinan. Selanjutnya pada untuk hidup malam itu juga dilaksanakan “mangan merangkat”. Dalam prosesi”mangan merangkat ini dilakukannya “totok teloq”, atau memecahkan telur bersama-sama pada sesajen yang telah disediakan. Totok teloq adalah lambang kesanggupan calon mempelai pria untuk hidup bersama dalam bahtera rumah tangga.
Prosesi selanjutnya dalah sejati atau Mesejati, yaitu pemberitahuan kepada orang tua si gadis melaui kepala desa tempat si gadis berdomisii.  Pelaksanaan upacara adat selanutnya yaitu pemuput selabar. Pemuput Selabar ini dilakukan biasanya 3 hari setelah sejati dilakukan. Tujuan utamanya adalah membicarakan segaka hal yang terkait dengan proses Aji karma atau penyelesaian adat , terutama akad nikah. Selanjutnya nyongkolan dlakukan sebagai media penyebarluasan bahwa mereka telah melepas masa bujang mereka. Fachrir Rahman mengatakan bahwa pada saat nyongkolan mempelai diibaratkan sang raja dan permaisuri yang di iringi oleh rakyat.[6]
Setelah acara nyongkol berlangsung, yaitu ucapara adat balas nae. Balas nae yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki berkunjung ke rumah mempelai perempuan tanpa disertai iring-iringan pengantin seperti halnya nyongkolan. Kunjungan ini semata-mata bertujuan untuk menyambung tali silaturrahmi kedua keluarga dari kedua  mempelai.
Peneliti Belanda, Liefrimek, mendukung pendapat para tokoh agama . John Ryan Bartolomev juga mendukung pendapat ini. Menurut Ryan yang dikutip oleh M. Nur Yasin, bahwa praktek kawin lari di pinjam dari budaya Bali.[7]

Adapun mengenai prinsip dasar perkawinan merariq ada 4, yaitu :
a.       Prestige keluarga perempuan
Kawin lari dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap harkat dan martabat seorang perempuan. Sehingga kawin lari tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap pihak perempuan
b.      Superioritas lelaki, inferioritas perempuan
Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari adalah seorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi social-psikologis.
c.       Egalitarianism
Terjadinya kawin lari (merariq) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) dikalangan keluarga perempuan. Hal ini dibuktikan dengan bukan hanya bapak, ibu, saudara kandung yang terlibat, melainkan karib kerabat ikut menindak lanjuti prosesi merariq tersebut.
d.      Komersial (tawar menawar)
Terjadinya kawin lari dari hampir selalu berlanjut ke proses pisuke.
          



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan makalah, maka pemakalah menyimpulkan bahwa prosedur pernikahan yang telah turun temurun dalam suatu adat tertentu. Adapun dari segi sistem, sistem perkawinan adat dibagi menjadi 3 yaitu : Endogomi, Eksogami, dan Eleutrogami. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sangat berkaitan erat dengan pengaruh dari agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sehingga dalam upacara adat, dalam hal ini adat Sasak yang terkenal dengan adat Merariq adalah kontribusi dari adat Bali yang menganut agama Hindu.


DAFTAR PUSTAKA

Mustari Pide, Suriyaman. 2015. Hukum Adat .Jakarta : Prenadamedia Group.
Samosir, Djamat. 2014. Hukum Adat Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia.
Rahman, Fachrir. 2004. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat. Ampenan : Alam Tara Institute.
Setiady, Talib. 2015. Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung : Alfabeta.
Yasin, M. Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam Sasak. Malang : UIN-Malang Press.




[1] Suriyaman, Mustari Pide. Hukum Adat. (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015) hal. 5
[2] Djamat, Samosir. Hukum Adat Indonesia. ( Bandung : Nuansa Aulia, 2014) hal. 279.

[4] Dewi, Wulansari. Hukum Adat Indonesia. ( Bandung : Refika Aditama, 2015) hlm. 63
[5] Talib, Setiady. Intisari Hukum Adat Indonesia. (Bandung : Alfabeta , 2015) hlm. 233-234
[6] Fachrir, Rahman. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat. ( Ampenan : Alam Tara Institute , 2004) hlm. 219
[7] M. Nur, Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak. ( Malang : UIN-Malang Press, 2008 ) hal. 156

Komentar

Postingan populer dari blog ini

hadits tentang kepedulian sosial dan peduli lingkungan

Makalah PENGERTIAN QAWA’ID FIQHIYAH DAN PERBEDAAN QAWA’ID FIQHIYAH DENGAN DHAWABITH FIQHIYAH DAN NAZHARIYYAH FIQHIYAH

Makalah Teori Penelitian Agama