Praktik Poligami

PENELITIAN

PRAKTEK POLIGAMIDALAM MASYARAKAT DESA BARABALI KEC. MANTANG KAB. LOMBOK TENGAH


Penelitian Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Adat
Program Ahwal Syakhsiyyah


Siti Aminah    : 152142043
                                               

                                               

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH (AS)
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM (FSEI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
 2016


Permasalahan Yang Muncul Di Tengah Masyarakat
Manusia di ciptakan di bumi untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Sehingga kita dituntut untuk dapat melestarikan, mempertahankan, meningkatkan, dan menciptakan kemajuan ke arah yang lebih baik dalam segala lini kehidupan. Selain itu, manusia disebut juga sebagai zoon politicon atau makhluk social. Artinya, bahwa manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa adanya pemenuhan kebutuhan dan interaksi social dari manusia yang lainnya. Kemudian, dalam perkembangannya, seringkali menimbulkan berbagai permasalahan. Diantaranya terkait masalah waris yang kiat berbelit, nikah dibawah umur, nikah di bawah tangan, poligami liar, utang-piutang,  dan berbagai permasalahan lainnya yang tidak sesuai dengan prosedur UU yang berlaku.
            Diantara sekian kasus yang terjadi dalam bidang perkawinan, yaitu poligami. Poligami kerap kali dipisahkan antara peraturan dalam UU dengan peraturan dalam agama. Diantara pelaku poligami ini, melakukannya tanpa mematuhi rambu-rambu Undang-Undang. Sehingga tindakan yang dilakukan ini tidak dibenarkan dalam UU. Sehingga dari permasalahan di atas, penulis mengambil masalah mengenai bagaimana masyarakat pada umumnya melakukan prosedur poligami, studi kasus di Desa Barabali, kecamatan Mantang Kabupaten Lombok Tengah.
            Kasus yang marak terjadi dalam masyarakat itu sendiri seringkali dipicu oleh pemahaman mereka yang berusaha memisahkan hokum Islam dan hokum Positif. Kerap kali mereka melakukan hal-hal yang tidak senada dengan apa yang tertera dalam Undang-Undang. Mereka berdalih agama yang bias membenarkan tindakan mereka. Padahal pada hakikatnya bahwa regulasi dalam hokum positif bersumber dan bermuara pada Islam itu sendiri. Tambahannya, jika hal-hal yang tertera dalam peraturan tersebut belum dijumpai dalam Islam, maka hal tersebut semata-mata dibuat untuk mencapai kemaslahatan. Misalnya jika peraturan tersebut diilhami dan ditaati secara sepautnya, maka berbagai fatalogi social seperti nikah dibawah umur, tentunya hal tersebut telah dipertimbangkan dari kacamata biologis. Meminimalisir praktik-praktik poligami liar, maksudnya adalah poligami dibawah tangan yang kerapkali dengan mudahnya sang suami dengan ringan tangan melakukannya, sehingga berimplikasi pada keretakan dan keharmonisan hubungan rumah tangga mereka. Dengan adanya regulasi tersebut, maka Negara memperberat pelaku dengan berbagai syarat. Selain permasalahan diatas, ada juga fenomena perceraian yang marak terjadi. Secara empiris, masyarakat melakukan perceraian dengan menalak 3 sekaligus. Tentunya Negara tidak tinggal diam akan hal ini. Prioritasnya adalah dapat meminimalisir perkara yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah, yaitu putusnya hubungan perkawinan, baik yang disebabkan akibat talak, cerai gugat, khulu’, dan lain sebagainya. Sehingga, jika menilik ke segi normative, maka yang terlihat disana adalah asas memperberat perceraian. Sehingga dalam proses acara terkadang berorientasi pada rekonsiliasi hubungan kedua suami istri tersebut.Beranjak dari masalah perkawinan, kasus sengketa waris seakan tak pernah lekang oleh zaman. Sungguh persoalan yang kiat memanas dalam intern keluarga.
            Kasus yang di akan di teliti adalah kasus poligami yang terjadi di beberapa Kepala Keluarga di desa Barabali kecamatan Mantang kabupaten Lombok Tengah. Diantara para keluarga tersebut adalah keluarga bapak L. Muhrib dengan istri pertama bernama …. Dan istri kedua bernama ….. bukan hanya itu, ada juga dari Keluarga bapak Musa, Ibu hayati sebagai istri pertama dan ibu Isah sebagai istri kedua. Keluarga Bapak Musa al-Hadi bertempat di dusun Lingkuk kudung. Masing-masing istri mempunyai rumah. Letak rumah keduanya tidak terlalu jauh antara rumh yang satu dengan rumah yang lainnya. Hal ini dibuktikan dari keduanya masih berada dalam lingkup dusun yang sama. Berbeda halnya dengan yang terjadi dengan keluarga Bapak L…. istri pertama bertempat tinggal di dusun Barabali desa Barabali. Sedangkan istri kedua tinggal di Kabupaten Lombok Timur.
Peneliti tertarik meneliti kedua keluarga tersebut, karena jika dilihat secara kasat mata keluarga tersebut tak jauh berbedadengan keluarga lainnya yang suami tidak ber-poligami.


            Deskripsi latar social, budaya dan politik
Penelitian difokuskan di Desa Barabali kecamatan Mantang kabupaten Lombok Tengah. Berbicara mengenai letak geografis, Desa Barabali memang benar-benar daerah yang subur. Hal ini dibuktikan dengan apabila hendak memandang, maka yang terlihat adalah pepohonan hijau nan rindang, sawah yang terbentang luas, dan air yang mengalir jernih didalam saluran irigasi yang telah dibuat oleh pemerintah guna mengairi sawah-sawah penduduk. Selain itu, akses menuju desa ini tidak terlalu sulit. Dikarenakan tidak jauh dari Jalan Raya Mantang. Sehingga dapat dikatakan bahwa desa ini kerap tersentuh pembangunan.
            Masyarakat yang berdomisili di desa Mantang ini masih menganut hokum adat dan senantiasa taat pada ajaran Islam. Hal ini terlihat dari mendominasinya hukum Islam jika dikomparasikan dengan hukum positif. Adapun factor yang menyebabkan adalah karena kurangnya intelektualitas dari mayoritas para penduduknya. Para pemuda pemudi di sana mayoritas hanya menamatkan bangku SMA. Meski tidak bisa dipungkiri pula ada juga yang pendidikannya tinggi yang kemudian dipercaya untuk dapat mengurus hal-hal yang terkait dengan pengelolaan desa. Para pemuda yang tidak melanjutkan studi ke level Perguruan Tinggi tersebut beranggapan bahwa bekerja lebih penting. Mereka berasumsi bahwa bagaimana mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang sebanyak mungkin. Bahkan yang unik dari kebiasaan masyarkat di Desa Barabali ini adalah kerapkali orang-orang yang melakukan pendataan atau dalam hal ini wawancara, mereka berasumsi bahwa setiap orang tersebut akan membawa barokah berupa uang dan semacamnya.
Berkaca dari masyarakat yang mendiami wilayah Barabali, mereka masih menerapkan praktik-praktik adat, misalnya dalam hal pernikahan, mereka selalu melaksanakan prosesi “nyongkolan” guna menyiarkan kepada khalayak ramai bahwa telah ada sejoli yang sedang dimadu cinta sekalius telah dihalalkan hubungan biologis mereka untuk kemudian dapat menambah umat nabi Muhammad baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Ketentuan hukum dalam KHI dan CLD tentang poligami

Pasal 3 ayat
(1)   Asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zajw)
(2)   Perkawinan yang dilakukan di luar asas sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal secara hukum
Bab VIII Pembatalan Perkawinan
Pasal 40
Perkawinan dinyatakan batal apabila :
a.       Salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain

Bab IX Kompilasi Hukum Islam
Beristri Lebih Satu Orang
Pasal 55
(1)   Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
(2)   Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anaknya.
(3)   Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.
Pasal 56
(1)   Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2)   Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab. VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
(3)   Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri ;
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1)   Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yaitu :
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)   Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)   Persetujuan dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan,dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi
Kewajiban Suami yang Beristri Lebih Dari Seorang
                                    Pasal 82
(1)   Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang di tanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2)   Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan  istrinya dalam satu tempat kediaman.

UU no. 1 tahun 1974 tentang pernikahan
Pasal 3
Ayat (2) pengadilan, dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)   Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)   Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Analisis
Selama penelitian berlangsung,peneliti mendapatkan data dari 2 pasangan suami istri yang berpoligami. Mereka adalah Musa yang memiliki istri 2 orang yang masing-masing bernama Isah dan Hayati. Selanjutnya L Muhrib yang juga memiliki 2 orang istri yang bernama …. Dan…. Menurut Isah ketika peneliti menanyakan tentang apakah tidak ada percekcokan antara para istri ? ia menjawab tidak ada, baik-baik saja.
Apa yang disampaikan Isah nampaknya tidak selalu dialami oleh istri yang dipoligami lainnya. Karena poligami membutuhkan kecermatan suami untuk memimpin. Kecermatan suami ini membutuhkan metodologi. Diantara metode yang tepat menghadapi para istri yang dipoligami sebagaimana dijelaskan dalam buku……..

            Berdasarkan data dari yang peneliti peroleh, nampaknya pendapat para pelaku poligami berbeda dengan apa yang disampaikan oleh tokoh agama sebagaimana diatas. Menurut para pelaku poligami, seakan-akan tidak pernah ada masalah dalam kehidupannya. Berbeda halnya dengan apa yang disampaikan oleh tokoh agama diatas, faktanya memang dalam kehidupan berkeluarga tidak akan pernah luput dari masalah. Bahkan Rasulullah pun tidak keluar dari persoalan rumah tangga.
Pertanyaan :
Apa alasan pelaku melakukan poligami ?
L. Muhrib : Saya tahu dia sedang sakit, makanya niat saya yang utama agar dapat mengobati dan merawatnya.
Adapun diantara alasan yang di sampaikan oleh salah satu pelaku poligami yang bernama Lalu Muhrib tentang alasannya berpoligami yaitu karena istri kedua mengalami sakit yang telah lama ia derita (diabetes mellitus) sehingga timbul keinginan untuk mempersuntingnya guna untuk merawat dan mengobatinya. Lebih lanjut lagi, acara yang di persiapkan untuk merayakan pernikahan kedua beliau juga cukup meriah. Hal ini dibuktikan dengan prosesi Nyongkolan yang di lakukan di Kec. Mantang. Nampaknya, prosesi walimatul arsyi yang Bapak Lalu Muhrib adakan tidak terlalu sering dilakukan atau bisa dikatakan jarang dilakukan oleh pasangan-pasangan yang menikah kedua kalinya terkhusus poligami.
Musa Al-Hadi : Ikut sunnah Rasul
            Adapun alasan yang kedua disampaikan oleh Bapak Musa Al-Hadi, bahwasanya alasan yang beliau kemukakan adalah selaku umat islam, tentunya kita harus berpedoman pada Qur’an dan Hadits. Salah satu hadits adalah Rasulullah mempunyai istri lebih dari seorang. Sehingga itulah yang dijadikan alasan untuk dapat berpoligami. Hal ini pula yang kerapkali menjadi motif utama para pelaku poligami. Meskipun pada hakikatnya jika ingin mengikuti Rasul, tak seharusnya hanya talfiq pada hal-hal yng di anggap mudah dan menyenangkan.
Istri pertama L. Muhrib           : di kasi guna-guna.
            Alasan yang sangat mencengangkan dilontarkan oleh istri pertama L. Muhrib tentang alasan suaminya berpoligami adalah karena ia telah diberikan guna-guna oleh istri keduanya. Alasan guna-guna ini bukan hanya dalam hal poligami, dalam hal suami ingin menikahi seorang perempuan atau sebaliknya kerapkali terjadi dalam tatanan masyarakat Sasak.
Pertanyaan kedua :
Apakah pernikahan dengan istri kedua tercatat di KUA ?
L. Muhrib : oh ya jelas. Saya paham Undang-Undang, jadi tidak mungkin tidak tercatat.
            Pernyataan yang disampaikan oleh Bapak L. Muhrib sungguh mengagumkan. Karena jika dilihat di masyarakat Sasak, banyak terjadi poligami liar. Seperti data yang di dapatkan dari kepala Dusun bahwa masyarakat Barabali khususnya dusun Dasan Baru, mereka melakukan poligami secara sembunyi, tidak tercatat di KUA. Selaku PNS, tentunya bukan hanya poligami menurut prosedur UU no. 1 tahun 1974. Melainkan harus meminta izin atasan.
Musa al-Hadi : ndek. (tidak)
            Berbeda halnya dengan kasus  kedua, bapak Musa al-Hadi melakukan Pernikahan keduanya tidak berdasarkan UUP yang mengisyaratkan pencatatan di KUA. Sama seperti pelaku poligami lainnya, biasanya tidak tercatat di KUA karena memang mereka melakukannya tanpa sepengetahuan dari istri pertama. Selain itu, berbagai penyakit atau cacat yang di cantumkan oleh UUP memang tidak sedang di derita oleh istri pertama. Sehingga pihak PPN tidak bisa membenarkan prosesi pernikahan yang mereka langsungkan.
Istri pertama : tidak. Karena syarat pengadilan kan harus ada izin dari saya. Saya juga gak tahu, Bapak diam-diam caranya nikah.
            Nampaknya data yang di dapat dari pihak suami berbanding terbalik dengan apa yang di sampaikan istri. Suami mengatakan sudah mendapat izin dan telah menjalankan prosedur dengan baik. Namun, menurut penuturan dari sang istri bahwa ia tidak tahu dengan adanya aqad nikah antara suaminya dengan istri kedua sehingga sangat mustail jika ia memberikan izin. Padahal UU telah jelas menyatakan demikian[1].
Pertanyaan :
Bagaimana bapak membagi waktu agar tetap adil ?
L. Muhrib        : kalo sepulang kerja, saya diem di rumah istri pertama. Nah, kalo sudah jam 10 malam biasanya saya pulang kerumah yang kedua.
            Sebagai pelaku poligami, maka sudah menjadi kewajiban untuk berlaku adil untuk kedua istri. Data yang di dapat dari narasumber Bapak Lalu Muhrib, bahwasanya ia menggunakan waktu luang selepas kerja untuk menghabiskan waktu dengan istri pertama. Lalu ketika malam mulai larut barulah ia pulang ke rumah istri muda.
Musa al-Hadi  : biasanya 3 hari disini, 4 hari disana, dan begitu juga biasa nya dig anti.
            Data yang didapat dari bapak Musa bahwa ia membagi waktu dalam seminggu bagi kedua istri. Hal ini nampaknya sesuai dengan yang dialami oleh berbagai pelaku poligami lainnya.


Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa praktek poligami yang terjadi di Desa Barabali belum sesuai dengan prosedur yang di jelaskan dalam Undang-Undang. Kompilasi Hukum Islam  Pasal 56 ayat (1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Namun dalam tatanan empiris tidak demikian. Para pelaku poligami tidak mendapat izin dari pihak istri. Bahkan, kerapkali suami melakukan poligami secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan sang istri. Berdasarkan


Jumlah kata : 2289


[1] Pasal 4 UU no. 1 tahun 1974

Komentar

Postingan populer dari blog ini

hadits tentang kepedulian sosial dan peduli lingkungan

Makalah PENGERTIAN QAWA’ID FIQHIYAH DAN PERBEDAAN QAWA’ID FIQHIYAH DENGAN DHAWABITH FIQHIYAH DAN NAZHARIYYAH FIQHIYAH

Makalah Teori Penelitian Agama