Makalah Teori Penelitian Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebenarnya
penelitian Agama sudah dilakukan beberapa abad yang lalu namun hasil
penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau perbuatan saja belum dijadikan
sebagai ilmu. Setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk sosial
dan budaya, ternyata penelitian dapat dijadikan sebagai ilmu yang khusus dalam
rangka menyelidiki gejala-gejala agama tersebut.
Perkembangan
penelitian Agama pada saat ini sangatlah pesat karena tuntutan-tuntutan
kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan. Kajian-kajian agama memerluka
relevansi dari kehidupan sosial berlangsung, permasalahan-permasalahan seperti
inilah yang mendasari perkembangan penelitian-penelitian Agama guna mencari
relevansi kehidupan sosial dan agama.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teori penelitian
agama ?
2. Bagaimana konstruksi teori
penelitian agama ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka perlu untuk dilakukan kajian-kajian atau
pembahasan tentang masalah yang terkait dengan “Teori-Teori Penelitian Agama”
dengan tujuan :
1. Dapat mengetahui pengertian teori
penelitian agama
2. Dapat mengetahui tentang konstruksi
teori penelitian agama
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Penelitian Agama
Teori
adalah alat terpenting suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori berarti hanya ada
serangkaian fakta atau data saja dan tidak ada pengetahun. Teori itu adalah :
1.
Menyimpulkan
generalisasi fakta-fakta.
2.
Memberi kerangka
orientasi untuk analisis dan klasifikasi fakta-fakta.
3.
Meramalkan
gejala-gejala baru.
4.
Mengisi
kekosongan pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada atau terjadi.
Agama
sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukkan
pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat
menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus
menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama
juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid, bahwa agama sebagai objek penelitian
pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang
transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran
mutlak sehingga tidak perlu diteliti.
Namun,
para ilmuwan lain yang beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau
penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial cultural. Jadi,
penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan
meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama.
Untuk
lebih menunjukan apa yang dimaksud dengan teori,Mely G.tan mengatakan bahwa
teori-teori pada hakikatnya merupakan menyatakan mengenai sebab akibat atau
mengenai adanya suatu hubungan positif antar gejala yang diteliti dari satu
atau beberapa faktor tertentu dalam
masyarakat. misalnya ingin meneliti gejala bunuh diri,kita sudah menetahui tentang
teori integrasi dan kohesi sosial dari Emiel Durkheim,seorang ahli sosiologi
perancis kenamaan,yang menyatakan adanya hubungan positif antara lemah atau
kuatnya integrasi sosial dan sejala bunuh diri. Durkheim mulai dengan pengamatan
statistik bahwa angka bunuh diri antara orang Katolik lebih rendah daripada
orang Protestan, dalam penelitan selanjutnya Ia menarik kesimpulan bahwa faktor
utama yang menentukan dalam gejala ini adalah integritas sosial. Perumusan
analisis teoretisnya dapat diutarakan sebagai berikut, integrasi atau kohesi
sosial memberi dukungan batin kepada anggota kelompok yang mengalami berbagai
kegelisahan dan tekanan-tekanan jiwa yang berat, angka bunuh diri adalah fungsi
dari kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-orang
tertentu.
Contoh
lainnya adalah mengenai kegiatan-kegiatan ekonomi. Teori terkenal Max Weber
menyatakan adanya hubungan positif antara agama Protestan dan bangkitnya
kapitalisme. Banyak sekali hipotesis yang dibangun oleh teori ini dengan
meluaskan konsep agama Protestan dengan agama-agama lain atau dengan sistem
nilai budaya pada umumnya dalam suatu masyarakat, dan meluaskan konsep
kapitalisme dengan kegiatan ekonomi pada umumnya. Di Indonesia, penelitian
berdasarkan teori ini telah dilakukan oleh Clifford Geertz, seorang sarjana
antropologi dari Amerika yang menguji hubungan antara agama Islam dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat enterpenersif di suatu daerah di Jawa Tengah.
Namun, teori ini selanjutnya dibantah dengan teori yang mengatakan bahwa untuk
kemajuan di bidang ekonomi tidak semata-mata disebabkan oleh paham agama
tertentu, melainkan karena faktor lainnya yang lebih dominan. Sebagai contoh,
pada kaum Katolik aliran Calvinis terdapat paham bahwa nasib baik atau buruk
manusia di tangan Tuhan, namun manusia tidak mengetahui nasib baik buruknya itu
karena dirahasiakan Tuhan. Agar Tuhan menentukan nasib manusia menjadi baik dan
menunggu nasib yang baik itu, sebaiknya manusia berusaha dan bekerja keras
dengan harapan usaha dan kerja kerasnya itu dapat mempengaruhi keputusan Tuhan.
Dengan cara demikian, baik pada kaum Protestan maupun kaum Katolik pada
akhirnya sama-sama bekerja keras. Studi Islam ternyata dapat dikaji dengan
menggunakan berbagai teori dan pendekatan yang selama ini banyak dijumpai dalam ilmu- ilmu sosial,seperti ilmu ekonomi,
ilmu politik, kebudayaan, sejarah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena agama
Islam sebagaimana diketahui, memiliki cakupan yang cakupan yang amat luas dan
menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia,sehingga pada aspek manapun manusia
dapat menangkap dengan baik.
Namun
demikin, perlu dicatat dan digariswahi bahwa penggunaan teori dan pendekatan tersebut
bukan ditujukan untuk menguji benar tidaknya aspek esensi ajaran Islam yang
bersifat normatif, sebagaimana
terdapat dalam Al-Qu’ran dan hadits mutawatir atau hadits shahih tidak perlu
dipersoalkan lagi karena sudah diyakini kebenaranya. Kita tidak perlu
mempersoalkan, meneliti atau meragukan kebenaran isi Al-Quran dan isi hadits
mutawatir, ajaran yang terdapat dalam Al-Quran baik yang berkenaan dengan
ibadah, akidah, akhlak maupun kehidupan akhirat dan lain sebagainya adalah
hukum yang pasti benar, kita tidak akan menambah atau mengurangi rukun Iman atau
rukun Islam dan lainnya yang ada dalam kitab suci, semua itu isi agama yang
tidak perlu diteliti lagi, karena merupakan hukum Tuhan yang mutlak benar. Yang
dijadikan objek penelitian adalah berkenaan dengan aspek lahiriah atau aspek
pengalaman dari ajaran wahyu tersebut. Dengan kata lain, penelitian agama bukan
meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam
kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosio-kultural.
Dalam
praktek kita dapat menggunakan suatu teori ketika kita ingin meneliti apakah
ada hubungan antara paham keagamaan tertentu dengan terjadinya tindakan
kekesaran.misalnya kemudian, kita juga
dapat meneliti apakah ada hubungan positif antara etos kerja produktif dengan
paham keagamaan yang dianut. Contoh-contoh tersebut dalam penelitian jelas
memerlukan teori sebagai alat atau pisau untuk menganalisis apa yang dihasilkan
dari penelitan tersebut.
Dari
teori-teori tersebut selanjutnya kita dapat merumuskan kesimpulan sementara
untuk diuji lebih lanjut yang selanjutnya disebut hipotesis. Namun sungguh pun
rumusan dalam hipotesis dinilai masih
rendah dan perlu dibuktikan, tetapi ia berfungsi sebagai jawaban
sementara terhadap permasalahan yang
sedang dihadapi. Karenanya hipotesis akan merupakan pengarah dalam penelitian.
Jika penelitian berpijak pada hipotesis, tujuan penelitian jelas akan menguji
hipotesis. Data digali untuk menguji (bukan membuktikan). Kalau membuktikan
bisa kerancuan mencari data yang mendukung saja, sehingga data-data yang
dijumpai di lapangan akan dipaksa untuk mendukung atau membenarkan hipotesis
tersebut. Ini jelas suatu kekeliruan, karena tujuan penelitian bukan untuk
mencari pembenaran, tetapi untuk mencari kebenaran. Jika dijumpai keadaan bawha
data yang ada berada dengan hipotesis, hipotesis tersebut ternyata sudah tidak
tepat lagi, karena sudah terjadi perubahan yang terdapat di masyarakat. Data-data
tersebut harus dijelaskan dengan teori lain, atau sama sekali membuat teori
yang baru.
Bagaimana
cara orang merumuskan hipotesis itu ternyata belum ada aturan yang baku. Namun,
dapat dikemukakan saran-saran antara lain:
a.
Hipotesis
hendaklah menyatakan pertautan antara dua variabel atau lebih.
b.
Hipotesis
hendaklah dinyatakan dalam kalimat deklaratif atau pernyataan.
c.
Hpotesis
hendaklah dirumuskan secara jelas dan padat.
d.
Hipotesis
hendaklah dapat diuji, artinya hendaklah orang dapat mengumpulkan data guna
menguji kebenaran hipotesis tersebut.
Suatu
pendekatan sangatlah sensitif, baik berhubungan dengan kemajuan maupun dengan
kemerosotan. Bukan kemampuan dalam menimbulkan suatu masalah yang menyebabkan
stagnasi, apatis atau gerak, dan kemajuan, tetapi agaknya metodologi yang
digunakan.
Pada
abad keempat dan kelima sebelum masehi, ada jenius-jenius besar yang tidak
dapat dibandingkan dengan jenius abad keempat belas, kelima belas, dan keenam
belas. Tidak diragukan lagi bahwa Aristoteles lebih jenius dari Roger Bacon.
Tetapi bagaimana bisa orang-orang yang
memiliki tingkat kejeniusan yang lebih rendah dari pada Aristoteles meletakkan
dasar-dasar bagi kemajuan ilmu pengetahuan; sebaliknya para jenius besar itu
sendiri telah menyebabkan terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan dan kesadaran
bagi umat manusia.
Alasannya
adalah bahwa jenius yang kedua telah menemukan cara berpikir dan metodologi
yang benar. Dengan cara ini orang awam pun dapat menemukan kebenaran, tetapi
seorang jenius besar yang tidak mengetahui cara pendekatan yang benar terhadap
berbegai masalah dan metode berfikir yang benar, tidak dapat menggunakan
kecerdasan secara efektif.
Berfikir
dengan benar adalah seperti berjalan dengan benar. Seseorang yang berjalan
dengan lambat dan pincang, tetapi memiliki jalan yang lurus dan benar, akan
sampai ke tujuan lebih capat dari pada orang juara yang lari diatas bebatuan. Sang
juara tidak akan sampai ke tujuan, seberapun cepat ia berlari. Sebaliknya, pelatih
yang pincang, yang telah memilih jalan yang benar, akan mencapai maksud dan
tujuannya.
Kita harus mengambil hikmah dari berbagai pengalaman
yang merupakan bagian dari sejarah Islam. Kita harus mengenal diri kita agar
menjadi pengikut agama besar yang bertanggung jawab dan mengenal Islam secara
benar dan metodis.”Demikian ungkapan Ali Syari’ati.
Umur
kita tidaklah untuk memuja hal-hal yang tidak kita ketahui. Hal ini khususnya
untuk orang-orang terpelajar. Tanggung jawab mereka bahkan lebih berat lagi
ketika dihadapkan pada sesuatu yang suci. Tidak saja dalam kewajiban Islami,
tetapi juga dalam ilmu pengetahuan, kemanusiaan,dan keharusan menemukan suatu
pendekatan yang bermakna untuk memahami Islam. Kepribadian seseorang diimbangi
dengan apa yang ia ketahui paralel dengan apa yang ia percayai. Kepercayaan
saja bukanlah kebajikan. Jika kita percaya kepada sesuatu dan tidak
mengetahuinya, kepercayaan ini tidak mempunyai nilai karena karena nilai itu
datang dari pengetahuan atas apa yang ia yakini. Kita beriman kepada Islam.
Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk mengenal atau mengetahuinya. Untuk tahu,
kita harus memperoleh pendekatan yang benar.
Untuk
mengenal kebenaran-kebenaran Islam kita tidak boleh menggunakan pendekatan
Eropa yang didasarkan pada pendekatan biologi, psikologi atau sosiologi.
Agaknya, kita harus memprakarsai suatu pendekatan. Kita harus mengetahui
metode-metode ilmu pengetahuan Eropa, tetapi kita tidak boleh meniru mereka.
Hari ini semua metode ilmu pengetahuan dalam segala bidang telah berubah.
Mereka telah menggunakan cara baru. Kebenaran-kebenaran agama, kalau perlu,
juga harus demikian.
Jelaslah
bahwa untuk mengenal Islam, kita tidak memilih suatu pendekatan saja, karena
Islam bukanlah agama yang berdimensi satu. Islam bukanlah agama yang didasarkan
semata-mata pada perasaan-perasaan mistik manusia atau hanya terbatas kepada
hubungan antara Tuhan dan manusia. Ini hanya terbatas kepada hubungan antara
Tuhan dan manusia. Ini hanya satu dimensi dari akidah Islam. Untuk mengenal
dimensi tertentu ini kita harus beralih kepada metode filsafat, karena hubungan
antara manusia dan Tuhan merupakan bagian dari bidang pemikiran (filsafat).
Dimensi
lain dari agama ini berhubungan dengan cara hidup seseorang dimuka bumi
merupakan produk interaksi sosial. Untuk mengenal kebenaran-kebenaran dimensi
ini, kita harus menggunakan metode ilmu sosial dan ilmu sejarah masa kini.
B. Konstruksi Teori Penelitian Agama.
Konstruksi teori penelitian agama
merupakan suatu upaya untuk memeriksa, mengkaji, mempelajari, memprediksi atau
menduga dan memahami secara saksama susunan atau bangunan dasar atau
hukum-hukum dan ketentuan lainnya yang diperlukan untuk melakukan penelitian terhadap
bentuk pelaksanaan atau pengamalan ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman.
Adapun
penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, pemeriksaan
yang dilakukan secara seksama dan teliti dan dapat pula berarti penyelidikan.
Tujuan pokok dari kegiatan penelitian ini adalah mencari kebenaran-kebenaran
obyektif yang disimpulkan melalui data-datanya yang terkumpul.
Kebenaran-kebenaran
obyektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan
untuk pembahasan, perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoritis
dan praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan, dengan demikian
penelitian mengandung arti menemukan jawaban atas sejumlah masalah berdasarkan
data-data yang terkumpul, penelitian menuntut pada pelakunya agar proses
penelitian yang dilakukan bersifat ilmiah, yaitu harus sistematis, terkontrol,
bersifat empiris (bukan spekulatif) dan harus kritis dalam menganalisis
data-datanya yang saling berhubungan dengan dalil-dalil hipotesis yang menjadi
pendorong mengapa penelitian itu dilakukan.
1.
Dorongan Islam untuk Meneliti Fenomena Sosial Secara Empiris
Ayat-ayat
Al Qur’an banyak menyuruh memperhatikan fenomena alam dan sosial. Misalnya,
menyuruh memperhatikan binatang ternak yang mengeluarkan susu antara kotoran
dan darah (An-Nahl:66), akibat masyarakat atau bangsa-bangsa yang tidak mau
mengindahkan seruan rasul-rasul Allah (Ar-Rum:9; Ali Imron:137), kasus pemuka
bani Isroil sepeninggal Nabi Musa alaihi salam yang meminta diberi seorang raja
untuk memimpin mereka berperang untuk merebut kembali tanah air mereka, tetapi
setelah permintaan dikabulkan, mereka berpaling (Al Baqarah:246-252).
Masalah-masalah yang umat manusia diperintahkan untuk memperhatikannya dapat
dilihat pada surat Al Baqarah: 258; Ali Imron: 23; An Nisa’: 49,60 dan 77, dan
sebagainya. Mengenai pengerahan sumber daya manusia, banyak ayat Al Qur’an yang
menyuruh memperhatikan usaha dan perbuatan manusia, misalnya Al Kahfi:103-105.
kata ”iman” yang menjadi pondasi kehidupan beragama pada umumnya diikuti dengan
kata amal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kerja dan amal yang merupakan
bukti keimanan (Al Baqarah:62,52, 82, dan 277; An Nisa: 57,122 dan 173).
Pengungkapan usaha manusia dan resiko dalam Al Qur’an, tentu dimaksudkan agar menjadi
perhatian, dan bagi ilmuwan supaya dapat dipahami secara ilmiah.
a.
Studi Empiris dalam Penelitian Agama
Objek
penelitian atau masalah yang akan diteliti secara ilmiah adalah yang empiris,
yakni dapat diamati dan disaksikan manusia dengan kekuatan indrawinya atau
kekuatan indrawi yang telah diperkuat dengan peralatan, seperti: mikroskop,
stetoskop, teleskop dan sebagainya. Dengan demikian yang akan diselidiki secara
ilmiah adalah masalah yang dibuktikan secara konkrit (empiris) dan berhubungan
dengan sesuatu yang dialami atau dapat dialami manusia.
Menurut Dadang Kahmad dalam
penelitian dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial terdiri dari pendekatan
Sosiologis, Antropologis, Psikologis, Historis, dan Fenomenologis.
Adapun tinjauan yang diuraikan pada pembahasan
ini adalah tinjauan melalui pendekatan empiris Antropologis, Sosiologis dan
Historis.
1)
Pendekatan Antropologis
Melalui
pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empiris akan dapat
dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul
dan dirumuskan.Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan
berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.Penelitian di bidang
antropologi agama antara lain dilakukan oleh seorang antropolog bernama Clifford
Geertz pada tahun 1950-an. Hasil penelitiannya itu telah dituliskan dalam buku
berjudul The Religion Of Java. Model penelitian yang dilakukan Geertz adalah
penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan
pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, survey, dan
penelitian Grounded Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam
kehidupan masyarakat yang ditelitinya.
2)
Pendekatan Sosiologis
Penelitian
sosiologi agama pada dasarnya adalah penelitian tentang agama yang
mempergunakan pendekatan ilmu sosial (sosiologi). Suatu hal yang perlu dicatat,
bahwa suatu hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa saja berbeda dengan
agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan mengkaji
benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana
agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam kaitan ini, dapat
terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada dalam
kenyataan yang diteliti secara empiris. Para sosiolog membuat kesimpulan
tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat. Agama yang terdapat
dalam doktrin kitab suci merupakan Das Sollen, sesuatu yang harusnya terjadi.
Sedangkan agama yang terdapat dalam kenyataan adalah Das Sein, sesuatu yang
tampak terjadi di lapangan yang telah diamati secara empiris.
Antara
agama yang terdapat pada dataran Das Sein dengan yang terdapat pada Das Sollen
bisa saja terjadi kesenjangan. Inilah yang selanjutnya yang dianggap sebagai
problema yang harus didekati dengan melakukan berbagai kegiatan pembaharuan
melalui jalur pendidikan, dakwah, pembinaan, dan sebagainya.
3)
Pendekatan Historis
Pendekatan
ini menganut pandangan bahwa suatu fenomena religius dapat dipahami dan diamati
dengan mencoba menganalisis perkembangan segi historisnya. Sejarah atau
perjalanan suatu agama di suatu daerah banyak meninggalkan barang-barang suci.
Diantaranya adalah sekumpulan teks-teks suci dan artefak (peninggalan
benda-benda padat yang berkaitan dengan keberadaan agama tersebut). Dengan
metode sejarah, benda-benda peninggalan tersebut dapat diketahui arti dan
maknanya, mengapa dan bagaimana keduanya saling berkaitan dengan latar belakang
ajaran agama dan budaya yang melahirkannya. Dalam melakukan analisis sejarah itu,
peneliti harus memiliki kacamata orang-orang beragama karena dengan bahasa
itulah, teks dan artefak dapat dipahami maknanya sehingga dicapai pengertian
yang berkaitan dengan asal-usul, pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran
agama-agama.
b.
Antara Penelitian Secara Empiris dan Wahyu
Perbedaan
antara pengetahuan ilmiah secara empiris dan ajaran agama dari segi metode
menurut pandangan umum bahwa pengetahuan ilmiah secara empiris diperoleh atau
disusun dari pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia dengan memakai
rasio. Sedangkan ajaran agama dipahami dari teks wahyu yang ada dalam Islam
adalah Al Qur’an dengan penjabarannnya melaui As- Sunnah. Kemungkinan teori
ilmiah bertentangan dengan pernyataan wahyu tetap saja ada karena perbedaan
pendekatan tersebut. Dalam perspektif sejarah, pergolakan kaum ilmiah menentang
agama (kristen) di Eropa muncul karena doktrin yang dipaksa gereja Katholik
Roma bertentangan dengan pendapat ilmuwan sehingga ilmuwan yang menentang
doktrin dihukum mati oleh gereja, seperti yang dialami Galileo-Galilei pada
1633. 16 Gereja menentang keras pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam
semeseta, teori evolusi Darwin, pembatasan kelahiran dengan alat-alat
kontrasepsi, perceraian, dan sebagainya. Walaupun doktrin gereja belum tentu mencerminkan
ajaran Al Kitab, tetapi pendapat gereja dipercayai dan memang menyatakan diri
sebagai realisasi wahyu. Dalam pandangan islam, terdapat kemungkinan hasil
penelitian ilmiah bertentangan atau berbeda dengan pernyataan ayat Al Qur’an
seperti dalam teks ayat:
Artinya: ” dan bumi kami hamparkan’’
(Al Hijr: 19)
Orang-orang
terdahulu yang belum menyaksikan bentuk bumi yang bulat dan memahami ayat
tersebut telalu tekstual akan membuat pernyataan bahwa bumi dalam pandangan Al
Qur’an adalah datar. Pandangan inِi jelas bertentangan dengan teori ilmiah yang
menyatakan bahwa bumi itu bulat. Dalam keadaan seperti ini, seorang ilmuwan
muslim dihadapakan pada salah satu tiga pilihan. Pertama, memihak kenyatan
wahyu dan menolak hasil penelitiaan atau teori ilmiah. Kedua, meninggalkan
pernyataan wahyu dan memihak teori ilmiah. Ketiga, tidak memihak pada salah
satu, tapi terus berusaha menemukan titik temu ke duanya.Tentu saja pilihan
pertama adalah yang paling tepat karena bisa jadi penelitian ilmiah memiliki
kesalahan karena keterbatasan ilmu dan indra manusia, atau bisa jadi seorang
ulama mujtahid salah dalam memahami ِِِAl Qur’an dan hadits sehingga terkesan
seolah-olah antara wahyu dan penelitian ilmiah bertolak belakang, padahal tidak
ada pertentangan di dalamnya. Oleh karena itu, wajib kita imani bahwa segala
sesuatu yang datang dari wahyu adalah mutlak kebenarannya.
BAB III
PENUTUP
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa Ayat-ayat Al Qur’an
banyak menyuruh memperhatikan fenomena alam dan sosial secara empiris seperti
yang tertera pada surat al Baqarah: 258; Ali Imron: 23; An Nisa’: 49,60 dan 77;
Ibrahim: 28;Maryam: 83; Asy Syu’ara;255; al Mu’min:69; Al Buruj: 8 dan 14; Al
Hasyr:11; al Fajar: 6-20;dan sebagainya. Adapun cara kerja pendekatan keilmuan
secara empiris dalam penelitian ilmu agama adalah mencari informasi tentang
agama dari aspek yang muncul dalam kenyataan yaitu bila agama tersebut sudah
menjadi bagian kehidupan nyata dari pemeluknya, seperti dalam kehidupan
sehari-hari, baik yang dipikirkan dalam gagasan pemeluknya, dalam aktivitas
maupun dalam bentuk hasil karya fisik, seperti dalam bentuk kumpulan buku-buku,
kitab-kitab suci maupun artefak.
Penelitian secara
empiris didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara,
pengamatan, survey, dan penelitian Grounded Research, yakni penelitian yang
penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Apabila
ditemukan adanya perbedaan antara wahyu dengan penelitian ilmiah secara
empiris, maka sikap kita yang benar adalah membenarkan wahyu dan menolak
penelitian tersebut karena bisa jadi hasil penelitian terdapat kesalahan
sementara wahyu mutlak kebenarannya datang dari Allah Ta’ala.
Assalamualaikum
BalasHapus