Ijtihad dan Permasalahannya
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas
rahmat & ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat & ridhoNYA,kami tidak
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa
pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Noor, M.HI.selaku dosen pengampu
“Pengantar Ilmu Fiqh” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah
ini.Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu
kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan
tentang “Ijtihad dan Permasalahannya” Mungkin dalam pembuatan makalah ini
terdapat kesalahan yang belum kami ketahui.Maka dari itu kami mohon saran &
kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Mataram,
8 Oktober 2014
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................... 1
C.
Tujuan....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
........................................................................... 3
IJTIHAT
DAN PERMASALAHANNYA
A.
Pengertian Ijtihad .................................................................... 3
B.
Arti Ijtihad menurut
istilah Ahli Ushul Fiqh............................. 3
C.
Dasar Penetapan........................................................................ 3
D.
Pola Ijtihad .............................................................................. 10
E.
Metode dan
Alternatif Ijtihad Masa Depan ........................... 12
BAB III KESIMPULAN
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konsepsi Islam yang orisinal terdapat dua buah kata
yang berasal dari satu substansi yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan
Islam dan umatnya sepanjang sejarah.Kedua kata tersebut adalah, kata-kata
‘Ijtihad’ dan ‘Jihad’ yang keduanya berasal dari huruf-huruf ( ) yang mengandung arti
; mencurahkan kemampuan atau menanggung kesulitan. Kata-kata
Ijtihad bersasaran untuk mengenal petunjuk dan agama Allah yang dibawa oleh
utusan-Nya, sedangkan kata-kata jihad bersasaran untuk menjaga agama Allah dan
mempertahankannya.
Kata
Ijtihad bergerak di bidang pemikiran dan penelitiaan sedangkan kata-kata jihad
bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku.Kalau kita renungkan,
kita akan mengetahui bahwa kedua pengertian tersebut saling melengkapi dan
saling menopang, di mana Ijtihad sebagai jihad di bidang ilmiah sedangkan jihad
adalah sebagai ijtihad yang berbentuk perbuatan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang di maksud dengan Ijtihad ?
2. Apa
arti ijtihad menurut istilah ushul fiqh ?
3. Jelaskan
dasar penetapan ijtihad !
4. Sebutkan
kualifikasimujtahid !
5. Jelaskan
pola-pola ijtihad !
6. Bagaimana
metode dan alternatif ijtihad masa depan ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka perlu untuk dilakukan kajian-kajian atau
pembahasan tentang masalah yang terkait dengan ‘Ijtihad dan permasalahannya’
dengan tujuan :
1. Dapat
mengetahui pengertian ijtihad.
2. Dapat
mengetahui arti ijtihad menurut istilah ushul fiqh.
3. Dapat
mengetahui dasar hukum penetapan ijtihad.
4. Dapat
mengetahui kualifikasi mujtahid.
5. Dapat
mengetahui pola-pola ijtihad.
6. Dapat
mengetahui metode dan alternatif ijtihad masa depan
BAB
II
PEMBAHASAN
IJTIHAD
DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa barasal dari kata artinya : mencurahakan segala kemampuan
atau menanggung beban kesuliatan arati ijtihad menurut bahasa adalah
mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata ijtihad ini tidak
di pergunakan kecuali pada hal-hal dan memerlukan banyak tenaga.
B. Arti
Ijtihad Menurut Istilah Ahli Ushul Fiqh
Para ahli ushul fiqh memberikan banyak
definisi yang berbeda-beda.imam alamidi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Artinya :
mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hokum syara’ yang bersifat dhonni,
sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
C. Dasar Penetapan
1.
Dasar Hukum
Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan
dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya memerintahkan untuk
menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran di antaranya ialah:
a.
Dari Al-Quran
Dasar hukum
ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
Firman Allah
dalam Qur’an Surah Al – Hasyr : 2
Artinya :“Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Ayattersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan
pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
b.
Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits.
Yang Artinya : “Apabila seorang hakim
memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar,
maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu
ia berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu
pahala.” (HR. Muslim).
2.
Dasar penetapan
mujtahid
a.
Adapun
syarat-syarat yang telah di sepakati adalah :
1)
Mengetahui
al-qur’an al-karim
Al-qur’an adalah kitab suci agama Islam
dan sumber utama syariat serta ajarannya. Al-qur’an sebagaimana yang dinyatakan
imam Syatibi adalah himpunan syariat,tiang agama, sumber hikmat, mukjizat
kerasulan dan cahaya bagi mata kepala serta mata hati orang Islam.
Hal demikian ini
telah di syariatkan oleh firman Allah swt.
Artinya: Kami
turunkan kepada kamu al-Kitab (al-qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri. (Q.S.
an-Nahl :89).
Sehubungan
dengan syarat ini Imam Al-Ghazali menyebutkan 2 macam keringanan :
I.
Beliau tidak
mensyaratkan untuk mengetahui al-qur’an secara menyeluruh, tapi cukuplah
mengetahui ayat-ayat hukum saja yang berjumlah sekitar 500 ayat. Pendapat
al-Ghazali ini telah disepakati oleh: al-Qadli Ibnu al-Arabi, Ar-Razi, Ibnu
Qudamah,dll.Pendapat ini dintah oleh Imam As-Syaukani dari segi : Sesungguhnya
ayat-ayat hukum itu berjumlah lebih dari 500 ayat. Dinukil dari ImamAbdullah
bin Mubarak bahwa ayat hukum berjumlah 900 ayat.
II.
Imam Ghazali
menyebutkan bahwa tidak disyaratkan atas seorang mujtahid untuk menghafal ayat
yang harus diketahuinya itu tapi cukuplah dengan mengetahui tempat ayat-ayat
tersebut sekiranya bias mencarinya di kala ayat itu di butuhkan.
i. Mengetahui
sebab turunnya ayat
Mengetahui
asbabun nuzul termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-qur’an.Karena
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat memberi jalan terang untuk memahami maksud
tes al-qur’an.
Imam
Syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqaat,juz II hal. 347, 348.Mengatakan :
“mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak
memahami al-qur’an. Ada 2 bukti menunjukkan hal tersebut :
III.
Sesungguhnya
ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan yang berguna untuk mengetahui kemukjizatan susunan
kalimat al-qur’an dan mengetahui maksud bahasaArab,keduanya berkisar sekitar
pengenalan ‘tuntutan keadaan ‘ (muqtadlalaal hal) seperti ; keadaan khitab
(pembicaraan ) ditinjau dari segi khitab itu sendiri , dari segi mukhatib
(pembicara ) dari segi mukhatab (yang di ajak bicara) atau ditinjau dari semua
segi tersebut.
IV.
Tidak mengetahui
sebab turunnya ayat bias menyeret ke dalam keraguan dan kesulitan juga bias
membawa pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan
perselisihan. Tentunya hal yang demikian ini akan membuka kemungkinan
terjadinya pertentangan.
i. Mengetahui
nasikh dan mansukh
Mengetahui nasikh dan mansukh termasuk hal yang
diperhatikan oleh para ahli ushul fiqh guna memahami al-qur’an bahkan sebagian
mereka menganggapnya sebagai syarat terpisah (untuk seorang mujtahid). Mereka
bersikap keras demikian karena untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasakhkan dan tidak
bisa dipergunakan untuk dalil.
Contoh :
Ibnu abbas mengatakan
bahwa firman Allah swt
Artinya: ‘’berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat’’….(Q.S. At-Taubah :
41 )
Telah di nasakh oleh
firman Allah swt.
Artinya :‘’tidak
sepatutnya bagi orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)… (Q.S.
At-Taubah : 122 ).
Padahal
kedua ayat tersebut memiliki konotasi masing-masing , hanya saja hanya saja hal
ini menunjukkan suatu hukum setelah perang Tabuk yang maksudnya bahwa orang
mukmin tidak berkewajiban untuk berangkat semuanya ke medan perang.
2) Mengetahui
As-Sunnah
Yang
di maksud dengan As-Sunnah adalah : ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang di
riwayatkan dari nabi Muhammaad saw. Para Ulama tidak mensyaratkan untuk mengetahui
semua hal yang berhubungan denganas-Sunnah, sebab sunnah atau hadits merupakan
suatu lautan yang luas. Tetapi mereka mensyaratkan untuk mengetahui
hadits-hadits yang ada hubungannya dengan hukum saja.
Selanjutnya,
yang di maksud dengan mengetahui as-Sunnah adalah sebagai berikut :
a)
Mengetahui ilmu
dirayah hadits (mengetahui riwayat dan memisahkan hadits yang shahih dari yang
rusak dan hadits yang bisa di terima dari hadits yang ditolak, hadits yang
tidak diriwayatkan oleh perawi yang adil dari perawi adil lainnya tidak boleh
dijadikan hujjah ).
b) Mengetahui
haadits yangnasikh dan mansukh.
c) Mengetahui
sebab wurudil hadits
3) Mengetahui
bahasa Arab
Wajib
bagi seorang mujtahid mengetahui bahasa arab dalam artian, menguasai bahasa
Arab dan ilmu-ilmu nya sehingga mampu memahami pembicaraan orang-orang Arab.
Hal ini diharuskan karena Al-qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang
jelas,dan al-hadits juga diucapkan oleh seorang Nabi yang berbahasa Arab pula
tentunya ini yang berkenaan dengan hadits-hadits qauli (ucapan). Sedangkan
hadits-hadits fi’li dan hadits taqriri dinukil pula oleh para sahabatnya yang berbangsa Arab yang tergolong ahli
fashihat dan ahli bayan.
4) Mengetahui
tempat-tempat Ijma’
Syarat
berikutnya bagi seorang mujtahid adalah mengetahui hukum-hukumyang telah
disepakati para Ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma’.Contohnya : seeperti masalah transfusi
darah,bayi tabung, alat kontrasepsi, dll.
5)
Mengetahui ushul
fiqh
Di
antara ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid adalah ilmu ushul fiqh,
yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha Islam guna meletakkan kaidah-kaidah dan cara
untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum
yang tidak ada nash hukumnya.
a)
Mengetahui qias
Termasuk
dalam Ilmu ushul fiqh adalah mengetahui qias, undang-undangnya, ketentuannya,
dan syarat-syaratnya yang benar,mengetahui hal-hal yang masuk dalam qias, dan
yang tidak, mengetahui ciri-ciri illat yang menjadi dasar qias dan
mempertemukan cabang hukum dengan asalnya.
6) Mengetahui
maksud-maksud syariah
Diantara
syarat-syarat penting (bagi seorang mujtahid) ialah apa yang dinyatakan oleh
Abu Ishaq as-Syatibi dalam buku muwafaqaat, yaitu syarat yang berkenaan dengan
‘mengetahui maksud-maksud syariah’, yang dijadikan tujuan diturunkannya
al-qur’an oleh Allah swt. Dan diutusnya Rasulullah saw. Serta ditetapkan
beberapa hukum.
Sesungguhnya
syariat Islam diturunkan, untuk melindungi dan memelihara kepentingan manusia
baik kepentingan material,spiritual,individu,ataupun kepentingan sosial. Syariat islam memelihara
kepentingan tersebut, atas dasar keadilan
dan keseimbangan tanpa melewati batas ataupun menimpakan kerugian.
Pemeliharaan
yang dilakukan oleh syariat ini meliputi 3 tingkatan maslahat, yaitu :
a)
Dlaruriyyat (
hal-hal penting yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup manusia. Bilamana
hal tersebut tidak dipenuhi maka akan terjadi kerusakan, kerusuhan,dan
kekacauan , contoh : memelihara jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan ).
b)
Hajiyyat ( hal-hal
yang dibutuhkan manusia untuk mendapatkan kelapangan dalam hidup. Bilamana
tidak dipenuhi hal tersebut maka manusia akan selalu di hinggapi perasaan
kesempitan dan kesulitan, contohnya : member rukhsah dikala dalam kesulitan ).
c)
Tahsinat (
hal-hal pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yangbaik).
7)
Mengenal manusia
dan kehidupan sekitarnya
Seorang
mujtahid harus memiliki pemgetahuan tentang keadaan zamannya,politiknya,
agamanya, dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh
mana interaksi saling mempengaruhiantar masyarakat tersebut agar ia benar-benar berijtihad dalam hal-hal
yang terjadi betul pada individu-individu dan masyarakat sekelilingnya.
8) Bersifat
adil dan taqwa
Diantara
syarat ijtihad yang di sepakati ahli ushul adalah ; hendaknya seorang mujtahid
itu bersifat adil, berkelakuan baik, taqwa kepada Allah swt. Karena orang
fasik, orang yang mmpermainkan agama, dan orang-orang yang mengejar ketenaran
palsu tidak bisa diberi kepercayaan untuk menjaga kebenaran syariat Allah swt
sebagai pewaris kedudukaan Nabi saw. Dalam berfatwa, berdakwah, dan mengajar.
a.
Beberapa syarat
yang masih diperselisihkan, yaitu :
i. Mengetahui
ilmu ushuluddin
Mengetahui
Ilmu Ushuluddin ( ilmu kalam dan hal-hal yang ada kaitannya dengan akidah ).
Diantara golongan Ulama yang menetapkan sebagai syarat adalah golongan
Mu’tazilah, sedangkan ulama
yang tidak mensyaratkannya adalah jumhur Ulama.
ii. Mengetahui
ilmu mantiq
Diantara
ahli ushul ada yang memandang ilmu manthiq sebagai suatu keharusan bagi seorang
ahli ushul. Ini menurut pendapat Imam Al-Ghazali yang menyebut ilmu manthiq
sebagai ilmu untuk menimbang imu . dalam hal ini ada ulama yang tidak sepakat
dengan pendapat Al-Ghazalli bahkan ada ulama yang mengharamkan ilmu manthiq,
seperti Ibnu Sholah dan Imam Nawawi,saebagaimana yang telah dikemukakan oleh
pengarang kitab As-Sullam.
iii. Mengetahui
cabang-cabang fiqih
Diantara
syarat penting yang masih diperselisihkan adalah mengetahui cabang-cabang
fiqih.Sebagian Ulama seperti Abu Ishaq dan Abu Manshur telah mensyaratkannya
atas seorang mujtahid, sedangkan ulama lainnya tidak mensyaratkannya.
D.
Pola
Ijtihad
1. Pola Bayani
Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan(semantik).
Secara umum metode yang dikembangkan ulama untuk menggali fiqh seperti yang
dikaji dalam bagian ilmu ushul fiqh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar,
yaitu :
a. Metode literal (tariqah lafziyah)
b. Metode argumentasi ( tariqah
ma’nawiyah).
Kedua metode ini membagi lafaz
kedalam empat macam, yaitu: dengan melihatnya :dari segi jelas dan
tidaknya,dari segi dalalahnya,dari
segi cakupan maknanya,dari segi bentuk-bentuk yang digunakan untuk
menyatakan taklif.
Ditinjau dari jelas atau tidaknya
lafaz dibagi menjadi dua yaitu, lafaz yang jelas (meliputi zahir, nash,
mufassar dan muhkam) dan lafaz yang tidak jelas (meliputi khafi, musykil,
mujmal dan mutasyabih). Ditinjau dari segi dalalahnya terdapat dalalah ibarah, dalalah isyarah, dalalah
iqtida dan mafhum mukhalafah. Dari segi luas cangkupan makna lafaz
dibagi menjadi lafaz umum, khash,
mutlak, muqayyad, musytaraq dan muradif. Dan dari segi bentuk yang
digunakan untuk menyatakan taklif,
ada amr dan nahi.
2. Pola
Qiyasi( Ta’lili)
Pola ijtihad yang ke dua yaitu ta’lili
(kausasi). Pola ini berusaha meluaskan proses berlakunya
hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat (Keadaan
atau sifat yang menjadi tambatan hukum) atau suatu pola yang dimaksudkan
semua penalaran yang menjadikan illat sebagai titik tolaknya.
Dalam epistemologi hukum Islam pola
ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini
adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya
suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan
ditetapkannyahukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama
terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus
cabang. Sebagai contoh didalam hadits
ada perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu: gandum,
kurma(kering) dan anggur(kismis). Sebagian ulama (kelompok Zahiriah) memahami
hadits ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya.Jadi
produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun sebagian ulama berupaya menemukan illat dari jenis tanaman tersebut
dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai ‘illat sejenis. Ada
yang menyatakan mengenyangkan, ada yang menyatakan jenis biji-bijian dan adapula
yang mengatakan ditanam(bukan tumbuh sendiri) dan pendapat yang terakhir
mengatakan ‘pembudidayaan (al-nama’) lah sebagai ‘illatnya.
Dalam praktiknya , biasanya pola
ta’lili digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani . Mungkin
untuk memperkuat argumen , tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya kepada hal
yang lebih logis dan mudah difahami.
3. Pola
Istislahi
Dalam pola ini , ayat-ayat umum
dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk
melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun
menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat( kebutuhan esensial), hajiyat(kebutuhan
primer), tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan
kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh ,
bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.
Upaya
penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada
pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan
analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali
dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan
as-Syatibi ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai metode ijtihad.
Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan
landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam.
Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan
baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang
modern.
E. Metode dan
Alternatif Ijtihad Masa Depan
1.
Ijtihad
Intiqa’i
Yaitu
ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat
yang ada dalam pusaka peninggalan fiqih kita, yang penuh dengan fatwa atau
keputusan hukum, dengan syarat mentarjihkan sebagai berikut :
a.
Hendaknya
pendapat itu lebih cocok dengan orang zaman sekarang.
b.
Hendaknya
pendapat itu lebih banyak mencerminkan rahmat kepada manusia.
c.
Hendaknya
pendapat itu lebih dekat dengan ``kemudahan, yang diberikan oleh syara``.
d.
Hendaknya
pendapat itu lebih utama dalam merealisir maksud-maksud syara, maslahat makhluk
dan usaha untuk menghindari kerusakan dari manusia.
2.
Ijtihad
Insya’i
Yaitu
mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, dimana permasalahan
tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama yang terdahulu, baik masalah itu
baru maupun lama. Dengan kata lain ijtihad ini bisa mencakup sebagian masalah
kuno yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer memiliki pendapat baru yang
belum pernah didapat dari ulama-ulama salaf.
3.
Ijtihad
gabungan antara Ijtihad Intiqa’i dan Ijtihad Insya’i
Diantara
ijtihad kontemporeradalah ijtihad gabungan antara ijtihad intiqa’i dengan
ijtihad insya’i yaitu, ijtihad dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama
terdahuluyang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian menambahkan dalam
pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru.
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat di mana kita hidup sekarang ini tidak
serupa dengan masyarakat Mekkah yang dihadapi oleh Rasulullah saw, sat-saat
tumbuhnya dakwah Islam pertama. Sebab masyarakat Mekkah waktu itu adalah
masyarakat jahiliyah murni yaitu masyarakat penyembah berhala yang kafir, yang
tidak percaya kepada Tauhid,dll. Adapun masyarakat kita
yang berada di Negara orang-orang Islam adalah masyarakat campuran , Islam dan
Jahiliyah terdapat di dalamnya unsur-unsur Islam murni dan unsur-unsur
jahiliyah yang di masukkan. Terdapat didalam masyarakat kitaorang-orang munafiq
yang berpura-pura mengaku Islam didepan
rakyat sedang di dalam hatinya tersimpan puing-puing iman. Mereka dihukumi
sebagai orang-orang munafik.
Selain itubanyak
dari mereka masyarakat kita suka bertanya dalam masalah kecil dan besar yang
berhubungan dengan peribadatan dan ahwal syakhsiah dan adalah kewajiban kita
untuk menjelaskan kepada mereka dan hendaknya kita jangan sampai menyembunyikan
ilmu yang bermanfaat di hadapan mereka sebab Tuhan kelak akan membelenggu kita
dengan belenggu api neraka pada hari kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
Qardlawy,
Yusuf. IJTIHAD DALAM SYARIAT ISLAM.Jakarta
: Bulan Bintang : 1987.
Ali,
Mukti. 1990. IJTIHAD DALAM PANDANGAN MUHAMMAD ABDUH, AHMAD DAKHLAN, DAN
MUHAMMAD IQBAL. Jakarta : PT Bulan Bintang.
Basyir,
Ahmad Azhar, dkk.1988. IJTIHAD DALAM SOROTAN. Bandung: Mizan.
Ramadan, Said. 1991. ISLAMIC LAW, IT’S SCOPE AND
EQUITY, ALIH BAHASA BADRI SALEH
DENGAN JUDUL KEUNIKAN DAN KEISTIMEWAAN HUKUM ISLAM. Jakarta: Firdaus.
Zuhri,
Saifudin. 2009. USHUL FIQH: AKAL SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Komentar
Posting Komentar